Photobucket

Kamis, 21 Mei 2009

TUMOR ORBITA

A. Definisi
Tumor orbita mata adalah tumor yang menyerang rongga orbita (tempat bola mata) sehingga merusak jaringan lunak mata, seperti otot mata, syaraf mata dan kelenjar air mata.
Rongga orbital dibatasi sebelah medial oleh tulang yang membentuk dinding luar sinus ethmoid dan sfenoid. Sebelah superior oleh lantai fossa anterior, dan sebelah lateral oleh zigoma, tulang frontal dan sayap sfenoid besar. Sebelah inferior oleh atap sinus maksilari.

B. Patologi
Tumor bisa tumbuh dari struktur yang terletak didalam atau sekitar orbit:
 Kelenjar lakrimal:
Adenoma fleomorfik: biasanya jinak, tapi rekurensi terjadi bila tidak dilakukan eksisi lengkap.

Karsinoma
 Jaringan limfoid:
Limfoma: Tumbuh primer didalam orbit, atau sekunder atas kelainan menyeluruh pada tubuh.


Retina:
 Retinoblastoma: Tumor anak-anak yang sangat ganas.

Melanoma
 Tulang:
Osteoma: biasanya mengenai sinus frontal atau ethmoid, bisa menyebabkan mukosel frontal.
Sista dermoid
Sista epidermoid
 Sinus paranasal, nasofaring:
Karsinoma: Sering menginvasi dinding medial orbit pada tahap dini penyakit.
 Selubung saraf optik:
Meningioma: sering meluas keintrakranial melalui foramen optik.
 Saraf optik:
Glioma (astrositoma pilositik): Tumbuh sangat lambat.
Neurofibroma/neurinoma
 Jaringan ikat:
Rabdomiosarkoma: Tumor anak-anak ganas dengan pertumbuhan dan penyebaran lokal cepat.
 Metastasis melalui darah:
Dewasa: Karsinoma 'breast'
Karsinoma bronkhial
Anak-anak: Neuroblastoma
Sarkoma Ewing
Leukemia
Tumor testikuler
 Lesi orbital non-neoplastik:
Hemangioma/limfangioma kavernosa: Lesi jinak yang sering terjadi pada dewasa.
Pseudotumor
Eksoftalmos endokrin
Granulomatosis Wagener
Histiositosis X
Sarkoidosis
Fistula karotid-kavernosa tampil dengan eksoftalmos pulsatif.

C. Tanda dan Gejala Klinis
Nyeri orbital: jelas pada tumor ganas yang tumbuh cepat, namun juga merupakan gambaran khas 'pseudotumor' jinak dan fistula karotid-kavernosa.
Proptosis: pergeseran bola mata kedepan adalah gambaran yang sering dijumpai, berjalan bertahap dan tak nyeri dalam beberapa bulan atau tahun (tumor jinak) atau cepat (lesi ganas).
Pembengkakan kelopak: mungkin jelas pada pseudotumor, eksoftalmos endokrin atau fistula karotid-kavernosa.
Palpasi: bisa menunjukkan massa yang menyebabkan distorsi kelopak atau bola mata, terutama dengan tumor kelenjar lakrimal atau dengan mukosel.
Pulsasi: menunjukkan lesi vaskuler; fistula karotidkavernosa atau malformasi arteriovenosa, dengarkan adanya bruit.
erak mata: sering terbatas oleh sebab mekanis, namun bila nyata, mungkin akibat oftalmoplegia endokrin atau dari lesi saraf III, IV, dan VI pada fisura orbital (misalnya sindroma Tolosa Hunt) atau sinus kavernosus.
Ketajaman penglihatan: mungkin terganggu langsung akibat terkenanya saraf optik atau retina, atau tak langsung akibat kerusakan vaskuler.

D. Pemeriksaan
Foto polos orbit: mungkin menunjukkan erosi lokal (keganasan), dilatasi foramen optik (meningioma, glioma saraf optik) dan terkadang kalsifikasi (retinoblastoma, tumor kelenjar lakrimal). Meningioma sering menyebabkan sklerosis lokal.
CT scan orbit: menunjukkan lokasi tepat patologi intraorbital dan memperlihatkan adanya setiap perluasan keintrakranial.
Venografi orbital: mungkin membantu.

E. Pengelolaan
Tumor jinak: memerlukan eksisi, namun bila kehilangan penglihatan merupakan hasil yang tak dapat dihindarkan, dipikirkan pendekatan konservativ.
Tumor ganas: memerlukan biopsi dan radioterapi. Limfoma juga berreaksi baik dengan khemoterapi. Terkadang lesi terbatas (misal karsinoma kelenjar lakrimal) memerlukan reseksi radikal.
 Pendekatan operatif:
Orbital medial: untuk tumor anterior, terletak dimedial saraf optik.
Transkranial-frontal: untuk tumor dengan perluasan intrakranial atau terletak posterior dan medial dari saraf optik.
Lateral: untuk tumor yang terletak superior, lateral, atau inferior dari saraf optik.

F. PSEUDOTUMOR (GRANULOMA ORBITAL)
Nyeri orbital tiba-tiba dengan pembengkakan kelopak, proptosis dan khemosis akibat infiltrasi limfosit dan sel plasma pada berbagai struktur didalam orbit. Keadaan ini biasanya terjadi pada usia menengah dan jarang terjadi bilateral. CT scan memperlihatkan lesi orbital difus, walau mungkin lebih dominan pada satu struktur, misalnya saraf optik, otot ekstra-okuler atau kelenjar lakrimal. Bila diagnostik tetap meragukan, diperlukan biopsi. Kebanyakan pasien memperlihatkan respons yang dramatis terhadap steroid. Bila gejala menetap, lesinya akan berreaksi baik terhadap radioterapi.

G. EKSOFTALMOS ENDOKRIN
Pasien tirotoksik dengan eksoftalmos bilateral tidak sulit untuk didiagnosis, namun eksoftalmos endokrin, dengan edema kelopak yang jelas, retraksi kelopak, dan oftalmoplegia mungkin terjadi unilateral dan dengan tiroksin dan triiodotironin serum normal. Bila curiga, tes stimulasi TRH mungkin membantu menegakkan diagnosis. Pada beberapa pasien penyakitnya berlangsung terus dan menyebabkan ulserasi korneal, edema papil dan bahkan kebutaan. Pada keadaan ini dekompresi orbital sangat bermanfaat
































DAFTAR PUSTAKA


http://www.dexamedica.com, Tumor Orbita
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Orbita.html, Tumor Orbita
http://www.parentsguide.co.id, Mata Julig, gejala awal kanker mata
http://cyberwoman.cbn.net.id, Waspadai kanker mata
http://www.ahmadfaried.com, Tumor retina
http://www.pdpersi.co.id, Mata kian menonjol, waspadai kanker mata





Baca Selengkapnya...

OTITIS MEDIA AKUT

A. Pengertian
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).
Yang paling sering terlihat ialah :
1. Otitis media viral akut
2. Otitis media bakterial akut
3. Otitis media nekrotik akut

B. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.

C. Patofisiologi
Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.
Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.

E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data yang muncul saat pengkajian:
a. Sakit telinga/nyeri
b. Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
c. Tinitus
d. Perasaan penuh pada telinga
e. Suara bergema dari suara sendiri
f. Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
g. Vertigo, pusing, gatal pada telinga
h. Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
i. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
j. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
k. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
l. Reflek kejut
m. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
n. Tipe warna 2 jumlah cairan
o. Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
p. Alergi
q. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
r. Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi
2. Fokus Intervensi
1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.
(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.
(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme
(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
(d) Kolaborasi pemberian antibiotik
Evaluasi: infeksi tidak terjadi
3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi:
(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh
(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh
(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka
Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan


Baca Selengkapnya...

Selasa, 19 Mei 2009

Konsep Umum Nyeri

1. Pengertian
Nyeri merupakan sesasi tidak enak, nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis, nyeri secara umum didefinisikan sebagai suatu rasa tidak nyaman baik ringan maupun berat (Priharjo,1998:3).
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan kronis, nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat, misalnya nyeri pada patah tulang atau pembedahan abdomen. Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama. Nyeri juga dinyatakan sebagai nyeri somatogenik atau psikogenik, nyeri somatogenik merupakan nyeri secara fisik, sedangkan nyeri psikogenik merupakan nyeri psikis atau mental.
2. Teori
a. Teori kekhususan (Teori Specifity)
Ujung saraf spesifik berkorelasi dengan sensasi yang spesifik seperti sentuhan, hangat, dingin atau nyeri. Sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung saraf bebas oleh mekanikal, rangsangan nyeri.
b. Teori intensitas
Hasil dari rangsangan yang berlebihan pada reseptor setiap rangsagn sensasi punya potensi untuk menimbulkan nyeri jika menggunakan intensitas yang cukup.
c. Teori Kontrol pintu (the gate control theory)
Serabut saraf tebal dan tipis membentuk sinar pada cornus sebagai pintu gerbang rangsangan yang mencapai otak.
3. Fisiologi
Suatu teori yang menjelaskan nyeri sebagai suatu mekanisme relatif sederhana yang menjelaskan bahwa respon nyeri timbul apabila suatu stimulus nyeri mengaktivasi reseptor nyeri (Priharjo, 1998:34).
Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung saraf yang bebas tidak bermyelin dan neuron aferen. Informasi dari reseptor nyeri mencapai sistem saraf sentral melalui serabut saraf asandan, bila informasi telah sampai dithalamus maka seseorang akan merasakan adanya suatu sensasi serta mempelajari tentang lokasi dan kekuatan stimulus. Bila informasi telah sampai pada kortek serebri maka seseorang menjadi lebih terlibat dengan sensasi nyeri, mencoba menginterpretasikan arti nyeri dan mencari cara untuk menghindari sensasi lebih lanjut.
Serabut saraf yang menghantarkan nyeri :
a. Serabut saraf tipe delta
Mengirimkan sinyal relatif cepat 12-30 m/s, bermyelin halus 2,5 mm, membawa rangsangan nyeri menusuk, serabut berakhir dicornu dorsalis dilamina I.



b. Serabut tipe c
Membawa rangsang nyeri terbakar dan tumpul, relatif lebih lambat 0,5-2 m/s, tidak bermyelin 0,4-1,2 mm, serabut berakhir dilamina IV dan V.
4. Stimulus
Reseptor nyeri memberi respon terhadap stimulus yang membahayakan seperti stimulus kimia termal, listrik atau mekanis, maupun mikroorganisme baik yang berasal dari dalam maupun luar tubuh (Priharjo,1998:35).Stimulus kimia terhadap nyeri yaitu histamin, bradikinin, prostaglandin, bermacam-macam asam.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Ujung saraf spesifik berkorelasi dengan sensasi yang spesifik seperti sentuhan, hangat, dingin atau nyeri. Sensasi nyeri berhubungan dengan pengaktifan ujung-ujung saraf bebas oleh mekanikal, rangsangan nyeri.
a. Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan misalnya, kebisingan, cahaya yang sangat terang dan kesendirian.
b. Umur
Toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan pertumbuhan usia, misalnya semakin bertambah usia seseorang maka semakin bertambah pula pemahaman terhadap nyeri dan usaha mengatasinya.


c. Kelelahan
Kelelahan juga dapat meningkatkan nyeri dan usaha banyak orang merasa lebih nyaman setelah tidur.
d. Riwayat sebelumnya dan mekanisme pemecahan masalah
Riwayat sebelumnya dan mekanisme pemecahan masalah berpengaruh pula terhadap seseorang dalam mengatasi nyeri. Misalnya, ada beberapa kalangan yang menganggap nyeri sebagai kutukan.
e. Tersedianya orang-orang yang memberi dukungan
Tersedianya orang-orang yang memberi dukungan sangat berguna bagi seseorang dalam menghadapi nyeri, misalnya anak-anak akan merasa lebih nyaman bila dekat dengan orang tuanya.
6. Respon perilaku terhadap nyeri
Ekspresi wajah mengatupkan geraham, menggigit bibir, meringis, aphasia, bingung dan disorentasi.



Baca Selengkapnya...

KATETERISASI URINE PADA PRIA

1. Pengertian
Memasukkan selang karet atau plastik melalui uretra dan kedalam kandung kemih
2. Tujuan
a. Menghilangkan distensi kandung kemih
b. Mendapatkan spesimen urine
c. Mengkaji jumlah residu urine, jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya dikosongkan
3. Persiapan
a. Persiapan pasien
1) Mengucapkan salam terapeutik
2) Memperkenalkan diri
3) Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilaksanakan.
4) Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
5) Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
6) Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
7) Privacy klien selama komunikasi dihargai.
8) Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
9) Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
b. Persiapan alat
1) Bak instrumen berisi :
a) Poly kateter sesuai ukuran 1 buah
b) Urine bag steril 1 buah
c) Pinset anatomi 2 buah
d) Duk steril
e) Kassa steril yang diberi jelly
2) Sarung tangan steril
3) Kapas sublimat dalam kom tertutup
4) Perlak dan pengalasnya 1 buah
5) Sampiran
6) Cairan aquades atau Nacl
7) Plester
8) Gunting verband
9) Bengkok 1 buah
10) Korentang pada tempatnya
4. Prosedur
a. Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan, kemudian alat-alat didekatkan ke pasien
b. Pasang sampiran
c. Cuci tangan
d. Pasang pengalas/perlak dibawah bokong klien
e. Pakaian bagian bawah klien dikeataskan/dilepas, dengan posisi klien terlentang. Kaki sedikit dibuka. Bengkok diletakkan didekat bokong klien
f. Buka bak instrumen, pakai sarung tangan steril, pasang duk steril, lalu bersihkan alat genitalia dengan kapas sublimat dengan menggunakan pinset.
g. Bersihkan genitalia dengan cara : Penis dipegang dengan tangan non dominan penis dibersihkan dengan menggunakan kapas sublimat oleh tangan dominan dengan gerakan memutar dari meatus keluar. Tindakan bisa dilakukan beberapa kali hingga bersih. Letakkan pinset dalam bengkok
h. Ambil kateter kemudian olesi dengan jelly. Masukkan kateter kedalam uretra kira-kira 10 cm secara perlahan-lahan dengan menggunakan pinset sampai urine keluar. Masukkan Cairan Nacl/aquades 20-30 cc atau sesuai ukuran yang tertulis. Tarik sedikit kateter. Apabila pada saat ditarik kateter terasa tertahan berarti kateter sudah masuk pada kandung kemih
i. Lepaskan duk, sambungkan kateter dengan urine bag. Lalu ikat disisi tempat tidur
j. Fiksasi kateter
k. Lepaskan sarung
l. Pasien dirapihkan kembali
m. Alat dirapihkan kembali
n. Mencuci tangan
o. Melaksanakan dokumentasi :
1) Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien
2) Catat tgl dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien








Baca Selengkapnya...

JAUNDICE

Pengertian
Kata jaundice berasal dari bahasa Perancis, dari kata jaune yang berarti kuning. Sakit kuning (jaundice) yang juga dikenal dengan ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah 1.


II. Etiologi

Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu. Gangguan dalam pembuangan mengakibatkan penumpukan bilirubin dalam aliran darah yang menyebabkan pigmentasi kuning pada plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin akan menumpuk kalau produksinya dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidakseimbangan antara produksi dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan perkursor bilirubin secara berlebihan ke dalam aliran darah atau akibatproses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar, metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini 2.


Patofisiologis

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, pascahepatik masih relevan. Pentahapan yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier 1. Jaundice disebabkan oleh gangguan pada salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut.

1. Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut jaundice yang disebabkan oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) 4

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkojugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran gromerolus, karenanya tidak muncul dalam air seni.

2. Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin 4

a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkojugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein meningkat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida / bilirubin konjugasi / bilirubin direk. Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak laurut dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid. Reaksi konjugasi terjadi dalam retikulum endoplasmik hepatosit dan dikatalisis oleh enzim bilirubin glukuronosil transferase dalam reaksi dua-tahap.



3. Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor 4

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di dalam usus flora bakteri men”dekonjugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkojugasi dapat melewati barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukuroniltransferase dan larut dalam empedu cair.


Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala kuning atau ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau kadar bilrubin serum melebihi 34 hingga 43 µmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua kali batas atas kisaran normal; namun demikian, gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya putih dan yang menderita anemia berat. Sebaliknya, gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid. Pada ikterus yang mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang beredar menjadi biliverdin. Efek ini sering terlihat pada kondisi dengan hiperbilirubinemia terkonjugasi berlangsung lama tau berat seperti sirosis. Gejala lain dapat muncul tergantung pada penyebabnya, misalnya:

1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan, mual muntah, dan demam 3

2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis 3

Penilaian jaundice yang dilakukan pada bayi baru lahir, berbarengan dengan pemantauan tanda-tanda vital (detak jantung, pernapasan, suhu) bayi, minimal setiap 8-12 jam. Salah satu tanda jaundice adalah tidak segera kembalinya warna kulit setelah penekanan dengan jari. Cara menilai jaundice membutuhkan cahaya yang cukup, misalnya dengan kadar terang siang hari atau dengan cahaya fluorescent. Jika ditemukan tanda jaundice pada 24 jam pertama setelah lahir, pemeriksaan kadar bilirubin harus dilakukan. Pemeriksaan kadar bilirubin dapat dilakukan melalui kulit (TcB: Transcutaneus Bilirubin) , (TSB: Total Serum Bilirubin) dan penilaian faktor resiko. Kadar bilirubin yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan besar kecilnya risiko yang dihadapi si bayi.


Faktor risiko mayor 5

TSB atau TcB di high-risk zone
Jaundice dalam 24 jam pertama
Ketidakcocokan golongan darah atau rhesus
Penyakit hemolisis (penghancuran sel darah merah), misal: defisiensi G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk dapat berfungsi normal
Usia gestasi 35-36 minggu
Riwayat terapi cahaya pada saudara kandung
Memar yang cukup berat berhubungan dengan proses kelahiran, misal: pada kelahiran yang dibantu vakum
Pemberian ASI eksklusif yang tidak efektif sehingga tidak mencukupi kebutuhan bayi, ditandai dengan penurunan berat badan yang berlebihan
Ras Asia Timur, misal: Jepang, Korea, Cina

Faktor risiko minor 5

TSB atau TcB di high intermediate-risk zone
Usia gestasi 37-38 minggu
Jaundice tampak sebelum meninggalkan RS/RB
Riwayat jaundice pada saudara sekandung
Bayi besar dari ibu yang diabetik
Usia ibu ≥ 25 tahun
Bayi laki-laki

Pengobatan

Pengobatan jaundice sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Jika penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya jaundice akan menghilang sejalan dengan perbaikan penyakitnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyebab dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversibel (seperti sirosis bilier primer) dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) mg/hari SK untuk 2-3hari 1.

Jika penyebabnya adalah sumbatan bilier ekstra-hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase bilier paliatip dapet dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaranbatu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan batu di duktus kholedokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengenluaran batu di saluran empedu.



Pencegahan

Cara-cara mencegah peningkatan kadar pigmen empedu (bilirubin) dalam darah / mengatasi hiperbilirubinemia :

1. Mempercepat proses konjugasi / meningkatkan kemampuan kinerja enzim yang terlibat dalam pengolahan pigmen empedu (bilirubin).

2. Mengupayakan perubahan pigmen empedu (bilirubin) tidak larut dalam air menjadi larut dalam air, agar memudahkan proses pengeluaran (ekskresi), dengan cara pengobatan sinar (foto terapi).

3. Membuang pigmen empedu (bilirubin) dengan cara transfusi tukar.

4. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi





Daftar Pustaka

[1]. Sudoyo,Aru.W, dkk, eds., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Dep. Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta, 2006, vol. I, hlm. 422-425

[2]. Kaplain, Lee M., Isselbacher, Kurt.J, “Harrison”, in Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, H.A,Ahmad, eds., EGC : Jakarta, 2000, vol.I, hlm. 263-269

[3]. Sakit Kuning (Jaundice), http://info-sehat.com/content.php?s_sid=1064, acces : 05 November 2007

[4]. Jaundice, http://en.wikipedia.org/wiki/Jaundice, last modified : 30 November 2007, acces : 05 Nopember 2007

[5]. dr. Itqiyah, Nurul, Jaundice / Kuning, http://www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=14, last modified : 15 Januari 2007, acces : 05 November 2007

[6] Quality improvement report: The “jaundice hotline” for the rapid assessment of patients with jaundice, doi:10.1136/bmj.325.7357.213 BMJ 2002;325;213-215 BMJ, volume 325, 27 July 2002, halaman 213



Baca Selengkapnya...

PERAWATAN LUKA; DAHULU DAN SEKARANG

Kulit merupakan organ terbesar dalam tubuh. Kulit juga mempunyai peranan yang sangat penting yang dapat menjaga kita agar tetap sehat. Peranan kulit terpenting antara lain yaitu sebagai pengatur suhu tubuh dan bertindak sebagai pelindung. Kulit juga bertindak sebagai system alarm tubuh ketika menerima rangsang panas, dingin ataupun nyeri. Pada kondisi tubuh yang optimal, jaringan kulit dapat memulihkan luka secara efisien dengan membentuk jaringan kembali.

Banyak cara yang telah dikembangkan untuk membantu penyembuhan luka, seperti dengan menjahit luka, menggunakan antiseptic dosis tinggi, dan juga pembalutan dengan menggunakan bahan yang menyerap. Namun, ketika diteliti lebih lanjut, ternyata cara penyembuhan seperti ini sama sekali tidak membantu bahkan berisiko memperburuk luka.

Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kita akan menggunakan antiseptic pada luka dengan tujuan menjaga luka tersebut agar menjadi ‘steril’. Bahkan antiseptic seperti hydrogen peroxide, povidone iodine, acetic acid, dan chlorohexadine selalu tersedia di kotak obat. Sekarang perlu diketahui, bahwa antiseptik-antiseptik seperti itu dapat mengganggu proses penyembuhan dari tubuh kita sendiri.

Masalah utama yang timbul adalah antiseptic tersebut tidak hanya membunuh kuman-kuman yang ada, tapi juga membunuh leukosit yaitu sel darah yang dapat membunuh bakteri pathogen dan jaringan fibroblast yang membentuk jaringan kulit baru. Sehingga untuk membersihkan luka, cara yang terbaik adalah dengan membersihkannya dengan menggunakan cairan saline dan untuk luka yang sangat kotor dapat digunakan ‘water-presure’. Untuk perawatan di rumah, dapat menggunakan air yang mengalir atau menggunakan shower.

Demikian pula dengan penggunaan balutan. Zaman dahulu orang percaya bahwa membiarkan luka dalam kondisi bersih dan kering akan mempercepat proses penyembuhan. Sehingga, pada zaman dahulu luka dibalut dengan menggunakan kain pembalut yang tipis yang memungkinkan udara masuk dan membiarkan luka mengering hingga berbentuk ‘koreng’. Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, pertanyaan tersebut dibantah. Pengatahuan sekarang telah membuktikan bahwa luka dalam kondisi kering dapat memperlambat proses penyembuhan dan akan menimbulkan bekas luka.


Balutan dalam kondisi lembab atau sedikit basah merupakan cara yang paling efektif untuk menyembuhkan luka. Balutan tersebut tidak menghambat aliran oksigen, nitrogen dan zat-zat udara yang lain. Kondisi yang demikian merupakan lingkungan yang baik untuk sel-sel tubuh tetap hidup dan melakukan replikasi secara optimum, karena pada dasarnya sel dapat di lingkungan yang lembab atau basah. Kecuali sel kuku dan rambut, sel-sel tersebut merupakan sel mati.

Pengetahuan dahulu menyatakan bahwa ‘scab’ atau bekas luka yang mengering atau ‘koreng’ merupakan penghalang alami untuk mencegah hilangnya kelembaban. ‘scab’ juga mencegah sel-sel baru untuk berkolonisasi di area luka. Ketika ‘scab’ tersebut mulai berubah bentuk, sel epidermis harus masuk ke lapisan dermis yang paling dalam sebelum melakukan proliferasi, karena disanalah daerah yang lembab sehingga sel dapat hidup. Dan dari proses itu kita dapat mengetahui bahwa dalam lingkungan kering, luka akan memulih dari dalam ke luar. Sedangkan, bila kita dapat mengoptimalkan lingkungan yang lembab pada luka, proses penyembuhan akan berlangsung dari daerah pinggir/sekitar dan dari dalam secara serempak.

Namun, penyembuhan dengan menggunakan lingkungan yang lembab masih menjadi hal yang baru dan jarang diaplikasikan di masyarkat. Masyarakat kebanyakan berpendapat bahwa lingkungan yang lembab akan menjadi tempat berkembangbiaknya kuman penyakit. Akan tetapi pernyataan ini tidak disertai dengan kenyataan bahwa tubuh kita mempunyai system imun yang sangat efisien. Segala jenis luka dengan berbagai tingkat kesterilannya memang merupakan bentuk kolonisasi dari bakteri, tapi koloni bakteri tersebut selama masih dalam jumlah yang wajar tidak menimbulkan risiko infeksi. Masalah akan timbul jika bakteri tersebut mulai melipatgandakan koloninya. Jika tubuh kita dalam kondisi yang normal, maka antibody dalam tubuh akan dapat mencegah bakteri untuk tidak bermitosis.

Klien dengan luka biasanya akan lebih jarang mengeluhkan rasa nyeri atau sakit yang dirasakan ketika luka dibiarkan dalam lingkungan yang lembab yaitu dengan pembalutan yang lembab. Balutan tersebut akan menjaga saraf dari lingkungan luar dengan memberikan lingkungan yang lembab, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. Jika dengan balutan yang kering, dikhawatirkan saraf akan mudah mengalami risiko kerusakan selama berproliferasi.



Cara-cara merawat luka:

Usahakan agar luka tetap bersih selama proses penyembuhan. Bersihkan luka dengan larutan saline sollution: larutkan dua sendok teh garam ke dalam air panas, lalu biarkan dingin.
Gunakan antiseptic yang alamiah. Dapat menggunakan Echinacea angustifolia, calendula, daun teh dan lavender.
Perbanyak intake protein dalam tubuh ketika sedang terluka. Terutama pasca operasi, kebutuhan kalori dan protein dalam tubuh akan meningkat 20-50 persen.
Perbanyak intake berbagai vitamin dan zat lainnya:
o Vitamin A untuk membantu pembentukan jaringan yang luka
o Vitamin B1 untuk mensintesis kolagen
o Vitamin B5 untuk mempercepat proses penyembuhan
o Vitamin C untuk mempercepat pembentukan kolagen dan elastin, juga untuk mempercepat pertumbuhan
o Vitamin E untuk membantu menghilangkan bekas luka
o Zn untuk menstimulasi proses penyembuhan luka
o Lemak essensial untuk memnyempurnakan proses penyembuhan luka
Gunakan madu untuk menyembuhkan luka. Madu mengandung enzim-enzim dan zat anti-viral, dapat mempercepat penyembuhan luka, dan menurunkan risiko infeksi lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan balutan sintetik semi-oklusif. Madu juga dapat mempercepat pertumbuhan sel-sel yang baru.


Selain beberapa pengobatan-pengobatan yang telah disebutkan diatas, ada juga metode penyembuhan luka yang juga dianjurkan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu terapi tekan. Terapi ini lebih dipergunakan untuk klien dengan luka pada kaki yang mana saraf pada kaki pun ikut terganggu. Terapi ini sangat efektif untuk membantu proses penyembuhan dan dapat mencegah risiko terjadinya luka ini kembali.

Metode terapi tekan ini biasanya menggunakan balutan non elastis, dua atau empat lapis balut tekan, dan pembalut yang pendek dan lentur. Balut tekan terdapat mermacam-macam cara, namun tetap dapat memberikan tekanan secara permanent atau terus-menerus. Hal ini disebabkan adanya perbedaan struktur dan kandungan dari serabut elastometric.

Balut tekan berguna untuk manajemen luka saraf. Balutan ini sangat mudah digunakan ketika kita ingin mengganti balutan yang lama. Balutan ini harus sering diganti, dengan tujuan untuk mengurangi pembengkakkan. Pembalut ini sangat elastis, sehingga dapat mengukur seberapa bengkak luka yang ada. Kekuatan tekanan yang dihasilkan merupakan interaksi dari beberapa prinsip, yaitu:

§ Struktur fisik dan ‘elastomeric properties’ pembalut tersebut.
§ Ukuran dan bentuk dari tubuh ketika balutan itu sedang digunakan.
§ Teknik dan keterampilan yang memasang balutan tersebut.
§ Aktivitas sehari-hari yang dilakukan klien.
Jika luka sudah membaik atau sembuh, disarankan agar balut tekan tetap digunakan dengan tujuan untuk mengontrol risiko pembengkakkan, memperbaiki system saraf dan mencegah risiko terjadinya luka ini kembali.

Sebelum kita melakukan intervensi terhadap luka, ada baiknya kita melakukan pengkajian terlebih dahulu. Melakukan pengkajian luka secara komprehensif pada klien yang tepat merupakan komponen penting dalam manajemen luka. Kemampuan untuk melakukan pengkajian luka tersebut membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang cukup. Perencanaan perawatan luka sangat dibutuhkan namun dalam perencanaan tersebut dibutuhkan juga keterangan-keterangan atau fakta dari hasil evaluasi rencana tersebut. Pedoman parameter untuk perawatan luka juga harus di masukkan dalam perencanaan tersebut, meliputi juga klasifikasi dari luka itu sendiri, penampilan luka, cairan yang keluar dari luka, rasa nyeri yang timbul dan kondisi kulit sekitar luka. Manajemen perawatan luka pada klien akan meningkat kualitasnya dengan komunikasi yang baik dan juga dengan dokumentasi yang efektif.







DAFTAR RUJUKAN

Burfeind, Daniel B. WOUND CARE UPDATE; Copyright Anthony J. Jannetti, Inc. Feb 2007. Dermatology Nursing. Pitman: Feb 2007. Vol. 19, Iss. 1; pg. 93, 1 pgs.

Benbow, Maureen. DIAGNOSING AND ASSESSING WOUND; Copyright PTM Publishers Limited Aug 2007. Journal of Community Nursing. Sutton, Surrey: Aug 2007. Vol. 21, Iss. 8; pg. 26, 5 pgs.


Thomas. Pat. HOW TO BE HEALTHY: WOUND HEALING; Copyright Ecosystems Limited Jul/Aug 2007. The Ecologist Sturminster Newton: Jul/Aug 2007. Vol. 37, Iss. 6; pg. 58, 2 pgs

Hoskin, Sue. WOUND CARE SOLUTIONS: COMPRESSION BANDAGES; Copyright Australian Nurses Federation Nov 2005. Australian Nursing Journal. North Fitzroy: Nov 2005. Vol. 13, Iss. 5; pg. 21, 1 pgs


Baca Selengkapnya...

Minggu, 17 Mei 2009

Amenore

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam masa kanak-kanak ovarium boleh dikatakan masih dalam keadaan istirahat, belum menunaikan faalnya dengan baik. Baru jika terjadi pubertas ( akil balig ), maka terjadilah perubahan-perubahan dalam ovarium yang mengakibatkan pula perubahan-perubahan besar pada seluruh badan wanita tersebut.
Pubertas tercapai pada umur 12-16 tahun dan dipengaruhi oleh keturunan, bangsa, iklim, dan lingkungan.
Kejadian yang terpenting dalam pubertas ialah timbulnya haid yang pertama kali ( menarche ). Walaupun begitu menarche merupakan gejala pubertas yang lambat. Paling awal terjadi pertumbuhan payudara ( thelarche ), kemudian tumbuh rambut kemaluan ( pubarche ), disusul dengan tumbuhnya rambut di ketiak. Setelah tu barulah terjadi menarche, dan sesudah itu haid datang secara siklik.
Haid ( menstruasi ) adalah perdarahan yang siklik dari uterus sebagai tanda bahwa alat kandungan menunaikan faalnya. Secara fisiologis menstruasi adalah proses hormonal dalam tubuh wanita sebagai hasil dari pelepasan ovum. Pelepasan itu terjadi ketika ovum yang ada di ovarium tidak dibuahi.
Amenore adalah absennya perdarahan menstruasi. Amenore normal terjadi pada wanita prepubertal, kehamilan, dan postmenopause. Pada wanita usia reproduktif, yang harus diperhatikan pertama kali dalam mendiagnosa etiologi dari amenore adalah kehamilan. Apabila tidak ada kehamilan, barulah kita harus mencari alternatif lain untuk mencari etiologi dari amenore itu sendiri.
Amenore primer : Ketika wanita 16 tahun dengan pertumbuhan seksual sekunder normal atau 14 tahun tanpa adanya pertumbuhan seksual sekunder; tidak mendapatkan menstruasi
Diagnosa yang terjadi pada amenore primer termasuk diantaranya vaginal agenesis, sindroma insensitifitas androgen, sinroma Turner. Diagnosa yang lain tergantung pada pemeriksaan yang lain.

























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Amenore dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
1. Amenore primer : Ketika wanita 16 tahun dengan pertumbuhan seksual sekunder normal atau 14 tahun tanpa adanya pertumbuhan seksual sekunder; tidak mendapatkan menstruasi.
2. Amenore sekunder : Ketika wanita yang pernah mendapatkan menstruasi, tidak mendapatkan menstruasi.
Diagnosa yang terjadi pada amenore primer termasuk diantaranya vaginal agenesis, sindroma insensitifitas androgen, sinroma Turner. Diagnosa yang lain tergantung pada pemeriksaan yang lain.

2.2 ANAMNESIS

Anamnesis yang akurat berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan sejak kanak-kanak, termasuk tinggi, berat badan dan usia saat pertama kali mengalami pertumbuhan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan.
Dapatkan pula informasi anggota keluarga yang lain (ibu dan saudara wanita) mengenai usia mereka pada saat menstruasi pertama, karena biasanya antara ibu dan anak-anaknya pertama kali mendapatkan menstruasi hanya berselang 1 tahun.
Informasi tentang banyaknya perdarahan, lama menstruasi, dan periode menstruasi terakhir juga perlu untuk ditanyakan.
Riwayat penyakit kronis yang pernah diderita, trauma, operasi, dan pengobatan juga penting untuk ditanyakan.
Kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan seksual, penggunaan narkoba, olahraga, diet, situasi di rumah dan sekolah, dan kelainan psikisnya juga penting untuk ditanyakan.
Gejala-gejala klinis yang lain seperti gejala vasomotor, panas badan, galactorrhea, nyeri kepala, lemah badan, pendengaran berkurang, perubahan pada penglihatan juga harus ditanyakan.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik, yang pertama kali diperiksa adalah tanda vital, termasuk tinggi badan, berat badan dan perkembangan seksual. Pemeriksaan fisik yang lain adalah sebagai berikut :
• Keadaan umum :
o Anoreksia-cacheksia, bradikardi, hipotensi, dan hipotermi.
o Tumor hipofise-perubahan pada funduskopi, gangguan lapang pandang, dan tanda-tanda saraf kranial.
o Sindroma polikistik ovarium-jerawat, akantosis, dan obesitas.
o Inflammatory bowel disease-Fisura, skin tags, adanya darah pada pemeriksaan rektal.
o Gonadal dysgenesis ( sindroma Turner )- webbed neck, lambatnya perkembangan payudara.
• Keadaan payudara
o Galactorrhea-palpasi payudara.
o Terlambatnya pubertas- diikuti oleh rambut kemaluan yang jarang.
o Gonadal dysgenesis (sindroma Turner )- tidak berkembangnya payudara dengan normalnya pertumbuhan rambut kemaluan.
• Keadaan rambut kemaluan dan genitalia eksternal
o Hiperandrogenisme- distribusi rambut kemaluan dan adanya rambut di wajah.
o Sindroma insensitifitas androgen- Tidak ada atau jarangnya rambut ketiak dan kemaluan dengan perkembangan payudara.
o Terlambatnya pubertas- tidak disertai dengan perkembangan payudara.
o Tumor adrenal atau ovarium- clitoromegali, virilisasi.
o Massa pelvis- kehamilan, massa ovarium, dan genital anomali.
• Keadaan vagina
o Imperforasi himen- menggembung atau edema pada vagina eksternal.
o Agenesis ( Sindroma Rokitansky-Hauser )- menyempitnya vagina tanpa uterus dan rambut kemaluan normal.
o Sindroma insensitifitas androgen- menyempitnya vagina tanpa uterus dan tidak adanya rambut kemaluan.
• Uterus : Bila uterus membesar, kehamilan bisa diperhitungkan.
• Cervix : Periksa lubang vagina, estrogen bereaksi dengan mukosa vagina dan sekresi mukus. Adanya mukus adalah tanda bahwa estradiol sedang diproduksi oleh ovarium. Kekurangan mukus dan keringnya vagina adalah tanda bahwa tidak adanya estradiol yang sedang diproduksi.


2.4 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pertimbangkan untuk melakukan tes laboratorium : CBC, erithrocyte sedimentation rate ( ESR ), thyroid- stimulating hormone ( TSH ), boneage, FSH dan LH, fungsi hati, BUN, kreatinin, urinalisis ( UA ), urin HCG, karyotyping, dehydroepiandrosterone sulfat ( DHEAS ), androstenedione, testosterone, adrenal suppresion test untuk 17- hydroxyprogesterone, pelvic ultrasound, MRI, dan kemungkinan radiograf untuk melihat sella turcica. Yang terakhir ini dapat mendeteksi lesi hipofise di dasar kelenjar hipofise dan dapat mengganggu sella itu sendiri. Banyak ahli yang lebih memilih MRI daripada radiograf untuk melihat sella apabila mencari CNS penyebab amenore.

2.5 ETIOLOGI AMENORE

• Keterlambatan pubertas umum
o Keterlambatan konstitusional
o Hipergonadotropik hipogonadisme
 Sindroma Turner
 Gonadal dysgenesis dengan karyotype mosaic
 Gonadal dysgenesis murni ( Sindroma Perrault, Sindroma Swyer )
 Gonadotropin-resistant ovary syndrome
 Penyebab yang didapat ( alkylating chemotherapy dosis tinggi, radiasi pelvis, oophoritis autoimun )
o Hipogonadotropik hipogonadisme
 Kondisi kronis ( kelaparan, olahraga yang berlebihan, depresi, stress psikologis, penggunaan mariyuana, Crohn disease, fibrosis kistik, sickle cell disease, talasemia mayor, infeksi HIV, penyakit ginjal, penyakit tiroid, diabetes melitus, anorexia nervosa )
 Lambatnya pertumbuhan tumor central nervous system ( CNS ) ( adenoma, craniofaringioma, meningioma, microadenoma hipofise )
 Abnormalnya perkembangan hipotalamus ( Sindroma Kallman, Sindroma Prader-Willi, dan Sindroma Laurence-Moon-Biedl )
 Kelainan lain yang didapat ( kelainan infiltrasi [ sarcoidosis, histiositosis sel Langerhans, sifilis, tuberculoma], kelainan iskemik [ disebabkan oleh trauma, aneurisma, obstruksi pada duktus Sylvius ], dan destruksi [ radiasi dosis tinggi] )
• Pubertas normal
o Berhubungan dengan hiperandrogenisitas ( sindroma polikistik ovarii, terlambatnya onset defisiensi 21-hydroylase [hiperplasia adrenal kongenital nonklasik], tidak matangnya hypothalamic-pituitary-ovarian axis, Cushing disease, androgen-producing ovarian, atau adrenal tumor, hipertropi stromal ovarii )
o Berhubungan dengan tidak adanya hirsutisme atau virilisasi ( tidak matangnya hypothalamic-pituitary-ovarian-axis, kehamilan )
o Hipergonadotropik hipogonadisme ( gagal ovarium, kemoterapi alkilating dosis tinggi, radiasi pelvis, oophoritis autoimun )
• Traktus genital anomali
o Mullerian agenesis ( sindroma Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser )
o Obstruksi anatomi kongenital atau didapat ( imperforasi himen, transverse vaginal septum, sindroma Asherman, destruksi endometrial karena infeksi )

2.6 HIPERGONADOTROPIK HIPOGONADISME

Pubertas dikatakan terlambat, bila tidak ada perkembangan payudara pada umur 13,5 tahun, tidaka ada rambut kemaluan pada umur 14 tahun, dan tidak mendapatkan menstruasi pada umur 16 tahun. Penyebab yang paling sering dari keterlambatan pubertas adalah keterlambatan konstitusional. Penyebab tersering yang lain adalah kegagalan ovarium, yang mana termasuk diantaranya hipergonadotropik hipogonadisme. Peningkatan nilai dari FSH dan LH pada hipergonadotropik hipogonadisme disertai dengan menurunnya produksi dari estrogen.
Salah satu contoh yang paling sering terjadi pada keadaan hipergonadotropik hipogonadisme adalah pada sindroma Turner, yang mana disebabkan oleh 45,X karyotype. Gejala klinis yang khas dari sindroma Turner adalah leher webbed, stature pendek, dada seperti perisai, aurikel anomalous, dan hipoestrogenemia sebagai hasil dari tidak matangnya seksual. Gonadal disgenesis biasanya ditandai dengan FSH yang tinggi, LH dan estradiol yang rendah. Gonadal disgenesis disebabkan oleh karyotype mosaik dengan abnormalnya kromosom X atau dengan karyotype normal ( 46,XX). Pasien dengan sindroma Perrault memiliki disgenesis gonadal, karyotype normal, dan tuli saraf. Sindroma Sawyer diilustrasikan sebagai wanita yang belum dewasa dengan kariotipe 46,XY tanpa faktor testis determinan pada kromosom Y. Penyebab hipergonadotropik hipogonadisme jarang lainnya adalah sindroma ovarii gonadotropin-resistant, yang mana ditandai dengan FSH-resistant ovarii.
Penyebab hipergonadotropik hipogonadisme yang didapat dapat terjadi akibat dari kemoterapi alkylating dosis tinggi dan terapi radiasi pada pelvis. Peningkatan ESR dan anti-ovarian antibodi dapat mengakibatkan oophoritis autoimun, tapi tes yang lain jarang diperlukan. Oophoritis autoimun adalah diagnosis yang tidak bisa diperbaiki, seperti juga semua bentuk hipergonadotropik hipogonadisme yang lain.

2.7 HIPOGONADOTROPIK HIPOGONADISME

Hipogonadotropik hipogonadisme dapat terjadi ketika nilai FSH dan LH rendah. Penyebab yang paling sering terjadi pada keadaan hipogonadotropik hipogonadisme termasuk diantaranya penyakit kronis, kelaparan, olahraga yang berlebihan, anoreksia nervosa, depresi, stress, dan penggunaan mariyuana. Hipogonadotropik hipogonadisme menyebabkan lambatnya pelepasan GnRH yang disebabkan oleh komponen multifaktor dari menurunnya lemak tubuh dan peningkatan β endhorphins.
Penyakit kronis dapat mempengaruhi perkembangan pubertas dengan cara mengganggu metabolisme lewat malabsorbsi dan nutrisi buruk ( Crohn disease, diabetes mellitus, hipotiroid, hipertiroid, fibosis kistik, anorexia nervosa, olahraga yang berlebihan.
Tumor di CNS dapat mengkompresi vena porta dan menghambat alur GnRH dari hipotalamus ke kelenjar hipofise. Hipofise adenoma, craniofaringioma, dan meningioma, adalah contoh dari tumor slow-growing nonmetastase, sebagai penyebab yang jarang dari hipogonadotropik hipogonadisme. Prolaktinoma hipofise anterior dapat melepas hormon prolaktin adalah tumor hipofise tersering yang menjadi penyebab hipogonadotropik hipogonadisme.
Kelainan didapat yang lain dapat mengganggu fungsi dari hipofise dengan menghancurkan sesuatu, seperti iskemik, infiltrasi, dan obstruksi. Trauma kepala, kranial aneurisma, dan proses infiltrasi ( sarcoidosis, sifilis, tuberculomas ) adalah contoh dari kondisi yang dapat mengganggu fungsi hipofise.
Perkembangan abnormal dari hipotalamus dapat terjadi karena hipogonadotropik hipogonadisme. Sindroma Kallman ditandai dengan anosmia, lambatnya pubertas, dan respon normal terhadap eksogenous gonadotropin dari embrio yang kekurangan kode protein dari gene KAL 1, yang bisa mencegah produksi sel GnRH dari migrasinya area olfaktori ke hipotalamus. Sindroma lain yang dihubungkan dengan disfungsi hipotalamus termasuk diantaranya sindroma Prader-Willi dan sindroma Laurence-Moon-Biedl.
Biasanya, amenore dengan perkembangan pubertas yang normal dihubungkan dengan hirsutisme. Penyebab tersering adalah sindroma ovarii polikistik (PCO). Sindroma PCO ditandai dengan anovulasi, hirsutisme dan obesitas. Selain anovulasi, tanda-tanda lain tidak harus selalu ada. Ovarian hipertekosis adalah asil dari hiperandrogenisitas, yang mana adalah bukti dari tanda-tanda hirsutisme, jerawat, dan obesitas dan bisa dihubungkan dengan diabetes mellitus tipe 2 dan akantosis nigrikans. Hipertekosis dapat juga menyebabkan virilisasi yang dapat dilihat pada kasus clitoromegali, botak pada bagian temporal kepala, dan perubahan pada suara.
Kasus lain dari hirsutisme adalah defisiensi late-onset 21-hidroksilase, yang dapat menyebabkan mutasi gen 21-hidroksilase, sebagai hasil dari 17-hidroxilase. Kasus lain dari hiperandrogenisme termasuk diantaranya Cushing disease, hipertropi stromal ovarii, dan androgen-producing tumor ovarii dan kelenjar adrenal. Penggunaan anabolik steroid juga bisa dipertimbangkan pada pembeda dengan amenore hiperandrogenik.
Anovulasi masih menjadi penyebab utama terjadinya amenore di kategori nonvirilisasi. Anovulasi disebabkan oleh tidak dewasanya hipothalamic-pituitary-ovarian axis, yang bisa terpisah setelah diskontinuasi dari variasi pengobatan kontrasepsi hormon dan bisa menyebabkan absennya menstruasi dalam beberapa bulan. Prematur idiopatik menopause pada 1% dari wanita dibawah 40 tahun. Kegagalan ovarium prematur dapat idiopatik, sekunder dari kemoterapi atau terapi radiasi, ataupula autoimun.
Hiperprolaktinemia adalah penyebab hipofise dari amenore pada keadaan pubertas normal. Hiperprolaktinemia dapat terjadi sebagai konsekuensi dari breastfeeding, mikroadenoma hipofise, dan penggunaan obat-obat psikoaktif ( haloperidol, phenothiazin, amitriptylin, benzodiazepin, kokain, mariyuana. )
Amenore dapat disebabkan oleh kelainan tiroid, termasuk diantaranya hipertiroid, dan hipotiroid. Hipogonadotropik hipogonadisme dapat terjadi karena kasus yang sama dengan kasus lambat pubertas. Untuk tambahan, sindroma Sheehan, yang dihasilkan dari panhipohipofisesme setelah infark hipofise dari hemorrhage atau shock post partum dapat berkembang menjadi pubertal amenore.
Amenore sebagai akibat dari anomali traktus genitalis dapat terjadi dari absennya organ reproduksi. Sindroma Mayer-Rokitansky-Hauser adalah anomali dari traktus genital yang disebabkan oleh vaginal agenesis. Uterus biasanya tidak ada, dan vagina biasanya menyempit. Karene fungsi ovarium normal dan memproduksi estradiol, maka bentuk dan besar payudara normal pula. Pubarche juga biasanya normal pada penderita pasien ini, sehingga rambut kemauan pun normal juga. Sindroma Mayer-Rokitansky-Hauser tercatat ada 15% dari penyebab amenore primer, yang ternyata merupakan penyebab tertinggi kedua amenore primer setelah sindroma Turner.
Sindroma insensitifitas androgen (ditandai dengan adanya wanita dengan hormon testicular), tercatat kurang lebih 10% dari pasien yang datang dengan kluhan amenore. Sindroma insensitifitas androgen disebabkan oleh abnormalnya reseptor androgen. Gonad adalah testikel yang memproduksi testosteron; tetapi testosteronnya tidak menimbulkan efek apapun karena reseptor androgennya tidak berfungsi. Gambaran fenotipe dari pasien dengan kondisi ini adalah wanita, tetapi sirkulasi pola hormonalnya adalah pria. Sindroma insensitifitas androgen termasuk penyakit maternal-X linked yang resesif yang mana testes tetap intraabdominal atau, dan rambut kemaluan jarang.
Regresi testikuler spontan adalah pola kelainan genetik pria yang jarang, sehingga menyebabkan terjadinya fenotipe wanita, dengan tidak adanya uterus. Untuk tambahan, beberapa defiiensi enzim mempengaruhi produksi androgen, sehingga menyebabkan pseudohermaprodit pada pria. Semua kelainan yang berupa fenotipe wanita tapi kromosomnya pria, harus dipindahkan gonadnya untuk mencegah bahaya kanker.
Amenore primer dapat terjadi karena imperforasi himen, yang ditandai dengan membesarnya uterus dan nyeri perut siklik. Sindroma Asherman terjadi setelah kuretase yang terlalu kuat, sehingga menghasilkan adhesi atau sinekia (perlengketan) dapat mencegah endometrium untuk merespon estradiol. Infeksi signifikan yang menhancurkan jalur endometrium juga dapat berakibat pada amenore primer atau sekunder.

2.7 ALGORITMA UNTUK MENGEVALUASI AMENORE DENGAN PUBERTAS LAMBAT

Dapatkan hasil laboratorium berikut : tes fungsi tiroid, pertumbuhan tulang , dan nilai prolactin, LH, FSH.
• Bila nilai FSH memanjang dan nilai tiroksin (T4) menurun, penyebabnya adalah hipotiroid.
• Bila pertumbuhan tulangnya yang lambat, maka penyebabnya adalah kelambatan konstitusional.
• Bila nilai LH dan FSHnya memanjang, dapatkan kariotipe.
o Bila kariotipenya 45,XO, maka penyebabnya adalah disgenesis gonadal ( sindroma Turner). Amenore juga bisa terjadi apabila salah satu dari dua kromosom X abnormal , seperti cincin kromosom atau hilangnya sebagian dari lengan X kromosom p atau q.
o Bila kariotipenya 46,XX, penyebab utamanya adalah kegagalan ovarium. Dapatkan pemeriksaan autoimun. Pikirkan etiologi oophoritis autoimun, efek dari terapi radiasi atau kemoterapi, defisiensi 17-ά-hidroksilase, atau sindroma ovarium resisten.
• Bila LH dan FSH menurun atau dalam batas normal, dapatkan MRI kepala.
o Bila pada pemeriksaan MRI abnormal, maka penyebabnya adalah tumor hipofise, hancurnya hipofise, atau penyakit hipotalamus.
o Bila nilai prolactin memanjang, dapatkan MRI kepala.
 Apabila pada paemeriksaan MRI abnormal, penyebabnya adalah tumor hipofise atau lesi otak yang mengganggu keseimbangan hipofise. Bila pada pemeriksaan MRI normal maka penyebabnya kemungkinan penggunaan mariyuana atau obat-obat psikiatri, khususnya dopamine antagonist, yang mana bisa mengurangi faktor penghambat prolaktin dan peningkatan berkala pada nilai serum prolactin.
 Bila pada pemeriksaan MRI normal dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang normal pula, maka etiologinya bisa karena penggunaan obat, gangguan pola makan, atletikisme, atau stress psikososial.
 Bila pada pemeriksaan MRI abnormal tetapi pada evaluasi klinis dan pemeriksaan fik abnormal, maka penyakit kronis bisa termasuk didalamnya.



2.8 ALGORITMA UNTUK EVALUASI AMENORE DENGAN PUBERTAS NORMAL

Periksa tes kehamilan.
• Apabila tes kehamilan positif, maka rujuklah pasien ke spesialis.
• Apabila tes kehamilan negatif, periksa nilai TSH dan prolactin.
• Apabila nilai TSH dan prolaktin dalam batas normal, lakukan pemeriksaan progestinnya.
o Apabila ada perdarahan , pikirkan siklus annovulatory untuk memasukkan sindroma PCO.
o Apabila tidak ada perdarahan dan E2/ pemeriksaan progestin negatif, pikirkanlah sindroma Asherman atau obstruksi outlet.
o Apabila ada perdarahan setelah pemeriksaan E2/ progestin dan pada pemeriksaan uterus dan vagina normal, periksa nilai FSH dan LH.
 Bila nilai FSH dan LH menurun atau dalam batas normal, periksa MRI kepala.
 Apabila pada pemeriksaan MRI abnormal, pikirkan penyakit hipotalamus, hancurnya hipofise, atau tumor hipofise.
 Apabila pada pemeriksaan MRI normal, maka lanjutkan dengan evaluasi klinis untuk menyingkirkan penyakit kronis, anorexia nervosa, penggunaan mariyuana atau kokain, atletikisme, atau stress psikososial.
 Bila nilai FSH dan LH meningkat, periksa kariotipe.
 Bila pada pemeriksaan kariotipe, pikirkan mosaik Turner atau mixed gonadal dysgenesis.
 Bila kariotipenya abnormal (46,XX), penyebabnya kegagalan ovarium. Periksa sistem autoimun. Pikirkan oophoritis autoimun; kegagalan ovarium prematur, penggunaan terapi radiasi dan kemoterapi, atau sindroma ovarium resisten.
• Bila nilai TSH dan prolaktin memanjang, penyebabnya hipotiroidisme dan hiperprolaktinemia.
Periksa testosteron dan nilai DHEAS pada pasien dengan hirsutisme.
• Bila nilai testosteron lebih dari 90 mcg/mL dan nilai DHEAS lebih dari 700 ng/mL, pikirkan PCOS, hiperplasia adrenal kongenital, hipertekosis, atau tumor sekret androgen.
• Bila nilai testosteron dan DHEAS dalam batas normal atau sedikit meningkat, lakukan pemeriksaan progestin. Bila ada perdarahan, maka diagnosisnya adalah PCOS



BAB III
KESIMPULAN


Amenore dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu :
3. Amenore primer : Ketika wanita 16 tahun dengan pertumbuhan seksual sekunder normal atau 14 tahun tanpa adanya pertumbuhan seksual sekunder; tidak mendapatkan menstruasi.
4. Amenore sekunder : Ketika wanita yang pernah mendapatkan menstruasi, tidak mendapatkan menstruasi.


Baca Selengkapnya...

Gambaran Kasus Kehamilan Ektopik Terganggu di RSUD "JJJ" Periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005

ABSTRAK

Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu.


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kasus kehamilan ektopik terganggu di RSUD JJJ periode 1 Januari 2003-31 Desember 2005. Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif. Data dikumpulkan dengan melihat kembali semua catatan medik kasus kehamilan ektopik terganggu yang tercatat di bagian Rekam Medik RSUD JJJ. Data dikumpulkan dan diolah secara manual, kemudian disajikan dalam bentuk diagram dan tabel distribusi frekuensi.
Dari hasil penelitian diperoleh 7498 jumlah kebidanan termasuk 133 diantaranya adalah kehamilan ektopik terganggu (1,77%), Penderita kehamilan ektopik terganggu yang terbanyak terdapat pada umur 30-34 tahun (40,60%) dengan paritas penderita 1 sebanyak (35,34%). Lokasi kehamilan ektopik terganggu terbanyak adalah pada daerah ampula tuba (82,70%) dimana jumlah ibu yang meninggal (1,5%).
Selengkapnya disini

Baca Selengkapnya...

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA KELAS II "HHH" JAKARTA TIMUR

ABSTRAK

Selama ini banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi belajar yang tinggi diperlukan Kecerdasan Intelektual (IQ) yang juga tinggi. Namun, menurut hasil penelitian terbaru dibidang psikologi membuktikan bahwa IQ bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada peranan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar pada siswa kelas II SMU.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Sedangkan prestasi belajar adalah hasil belajar dari suatu aktivitas belajar yang dilakukan berdasarkan pengukuran dan penilaian terhadap hasil kegiatan belajar dalam bidang akademik yang diwujudkan berupa angka-angka dalam rapor. Bila siswa memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, maka akan meningkatkan prestasi belajar. Hipotesis alternatif (Ha) dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU dan Hipotesis nihil (Ho) adalah tidak ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa kelas II SMU.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kecerdasan emosional sedangkan prestasi belajar sebagai variable terikat. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas II SMU Lab School Jakarta Timur yang seluruhnya berjumlah 240 orang. Sampel penelitian adalah 148 siswa, menggunakan metode proporsional random sampling. Dalam pengumpulan data digunalan metode skala untuk kecerdasan emosional berdasarkan teori Daniel Goleman yang terdiri dari mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain; dan untuk mengukur prestasi belajar siswa digunakan metode pemeriksaan dokumen dengan melihat nilai rapor semester I.
Nilai korelasi yang diperoleh pada analisis validitas instrumen dengan rumus korelasi Product Moment dari Pearson berkisar antara 0,320 - 0,720 dan p berkisar antara 0,000 - 0,008. Berdasarkan pada taraf signifikan 0,05 diperoleh 85 item valid dan 15 item gugur dari 100 item yang ada pada skala kecerdasan emosional. Nilai koefisien reliabilitas yang diperoleh 0,9538 dihitung dengan rumus Alpha Cronbach.
Hasil analisis data penelitian menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,248 dengan p 0,002 (<0,05)>



DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan masalah dan Pokok-pokok Bahasan
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Sistematika Skripsi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Prestasi Belajar
1. Pengertian Belajar
2. Pengertian prestasi belajar
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
4. Pengukuran prestasi belajar
B. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian emosi
2. Pengertian kecerdasan emosional
3. Faktor Kecerdasan Emosional
C. Keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar pada siswa SMU
D. Hipotesis
BAB III METODE PENELITIAN
A. Identifikasi variabel penelitian
B. Definisi Operasional
C. Populasi dan metode pengambilan sampel
D. Metode pengambilan data
E. Metode Analisis Instrumen
F. Metoda Analisis Data
BAB IV LAPORAN PELAKSANAAN PENELITIAN
A. Orientasi kancah Penelitian
B. Uji Coba Instrumen Penelitian
C. Pelaksanaan Penelitian
D. Analisis Data Penelitian
BAB V KESIMPULAN
A. Rangkuman Hasil Penelitian
B. Pembahasan
C. Kesimpulan
D. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
Selengkapnya ada disini


Baca Selengkapnya...

Proses Penuaan dan Keperawatan Gerontology

Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari. Walaupun proses penuaan benar adanya dan merupakan sesuatu yang normal, tetapi pada kenyataannya proses ini menjadi beban bagi orang lain dibadingkan dengan proses lain yang terjadi. Perawat yang akan merawat lansia harus mengerti sesuatu tentang aspek penuaan yang normal dan tidak normal.

ASPEK BIOLOGIS PADA PENUAAN
Proses penuaan biologis yang dialami lansia relatif tidak akan menimbulkan perubahan buruk saat diperlukan penurunan tingkat ketergantungan fisik yang tinggi. Berikut ini teori biologis tentang penuaan :
A. Teori seluler
à Sel diprogram hanya untuk membelah pada waktu yang terbatas.

B. Teori sistesis
à Akibat penuaan, protein tubuh terutama kolagen dan elastin menjadi kurang fleksibel dan kurang elastis.

C. Teori keracunan oksigen
à Kemampuan lansia untuk melawan efek racun oksigen akan berkurang.

D. Teori sistem imun
à Kopetensi yang menurun dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan infeksi, penyakit autoimun, dan kanker.

PENUAAN PADA SISTEM TUBUH (FISIOLOGIS)
Penuaan dapat dibedakan antara penuaan yang normal (fisiologis) dan penuaan karena kondisi penyakit (patologis). Berikut ini merupakan efek fisiologis dari penuaan :
A. Sistem muskuloskeletal
à Atrofi otot, dekalsifikasi tulang, dan perubahan postural.

B. Perubahan kardiopulmonal
à Pembuluh darah kehilangan elastisitas, peningkatan nadi dan peningkatan tekanan darah.
à Pendistribusian tulang kalsium menyebabkan dekalsifikasi tulang iga dan kalsifikasi kartilago kosta : Perubahan ini dan perubahan postural menyebabkan penurunan efislensi paru.

C. Sistem perkemihan
à Kehilangan irama diurnal pada produksi urine dan penurunan filtrasi ginjal

D. Sistem pencernaan
à Tidak ada perubahan yang signifikan

E. Sistem saraf
à Kemunduran pendengaran dan penglihatan

F. Sistem endokrin
à Kemunduran fungsi gonad

ASPEK-ASPEK PSIKOLOGIS PADA PENUAAN
Aspek psikologis pada lansia tidak dapat langsung tampak. Pengertian yang salah tentang lansia adalah bahwa mereka mempunyai kemampuan memory dan kecerdasan mental yang kurang. Berikut aspek psikologis pada penuaan :
A. Kepribadian, intelegensi dan sikap
Tes intelegensi dengan jelas memperlihatkan adanya penurunan kecerdasan pada lansia. Lansia seringkali mempertahankan sikap yang kuat, sehingga sikapnya lebih stabil dan sedikit sulit untuk diubah.

B. Teori aktivitas dan pelepasan
- Teori pelepasan : Lansia secara berangsur-angsur mengurangi aktivitasnya dan bersama menarik diri dari masyarakat.
- Teori aktivitas : Sebagai orang yang telah berumur, mereka meninggalkan bentuk aktivitas yang pasti, dan mengkompensasi dengan melakukan banyak aktivitas yang baru.

KEPERAWATAN GERONTIK
PENGERTIAN GERONTOLOGI DAN GERIATRI NURSING
A. Gerontologi adalah cabang ilmu yang mempelajari proses menua dan masalah yang mungkin terjadi pada lanjut usia.
- Geriatri nursing adalah spesialis keperawatan lanjut usia yang dapat menjalankan perannya pada tiap peranan pelayanan dengan menggunakan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan merawat untuk meningkatkan fungsi optimal lanjut usia secara komprehensif. Karena itu, perawatan lansia yang menderita penyakit dan dirawat di RS merupakan bagian dari gerontic nursing.

PENDEKATAN PERAWATAN LANJUT USIA
A. Pendekatan fisik
à Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia ada 2 bagian yaitu :
- Klien lanjut usia yang masih aktif, yang masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain.
- Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun yang mengalami kelumpuhan atau sakit.

B. Pendekatan psikis
à Perawatan mempunyai peranan yang panjang untuk mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia pribadi dan sebagai sahabat yang akrab.

C. Pendekatan sosial
à Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan upaya perawatan dalam pendekatan sosial. Memberi kesempatan berkumpul bersama dengan sesama klien lanjut usia untuk menciptakan sosialisasi mereka.

D. Pendekatan spiritual
à Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan tuhan atau agama yang dianutnya, terutama jika klien dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.

TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN LANJUT USIA
A. Agar lanjut usia dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
B. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan lansia melalui perawatan dengan pencegahan.
- Membantu mempertahankan serta membesarkan daya hidup / semangat hidup lansia.
- Menolong dan merawat klien yang menderita sakit.
- Merangsang petugas kesehatan agar dapat mengenal dan menegakkan diagnosa secara dini.
- Mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu pertolongan pada lansia.

FOKUS ASUHAN KEPERAWATAN LANJUT USIA
1) Peningkatan kesehatan (health promotion)
2) Pencegahan penyakit (preventif)
3) Mengoptimalkan fungsi mental.
4) Mengatasi gangguan kesehatan yang umum.

TAHAP-TAHAP ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA
A. Pengkajian :
- Proses pengumpulan data untuk mengidentifikasi masalah keperawatan meliputi aspek :
a) Fisik : - Wawancara
- Pemeriksaan fisik : Head to tea, sistem tubuh.
b) Psikologis
c) Sosial ekonomi
d) Spiritual
Pengkajian dasar meliputi : Temperatur, nadi, pernafasan, tekanan darah, berat badan, tingkat orientasi, memori, pola tidur, penyesuaian psikososial.
Sistem tubuh meliputi : Sistem persyarafan, kardiovaskuler, gastrointestinal, genitovrinarius, sistem kulit, sistem musculoskeletal.

Perencanaan
à Untuk menentukan apa yang dapat dilakukan perawat terhadap pasien dan pemilihan intervensi keperawatan yang tepat.

Pelaksanaan
à Tahap dimana perawat melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi / perencanaan yang telah ditentukan.

Evaluasi
à Penilaian terhadap tindakan keperawatan yang diberikan / dilakukan dan mengetahui apakah tujuan asuhan keperawatan dapat tercapai sesuai yang telah ditetapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. “ Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis”, Edisi ke-6, EGC, Jakarta, 2000.
Nugroho, Wahjudi. “Keperawatan Gerontik”, Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2000.
Leeckenotte, Annete Glesler. “Pengkajian Gerontologi”, Edisi ke-2, EGC, Jakarta, 1997.
Watson, Roger. “Perawatan Lansia”, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2003.




Baca Selengkapnya...

TALASEMIA

I. DEFINISI
Talasemia adalah penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan secara resesif. Ditandai oleh defisiensi produksi globin pada hemoglobin.

II. KLASIFIKASI
Secara molekuler talasemia dibedakan atas :
1. Talasemia ? (gangguan pembentukan rantai ?)
2. Talasemia ? (gangguan p[embentukan rantai ?)
3. Talasemia ?-? (gangguan pembentukan rantai ? dan ? yang letak gen nya diduga berdekatan).
4. Talasemia ? (gangguan pembentukan rantai ?)
Secara klinis talasemia dibagi dalam 2 golongan yaitu :
1. Talasemia Mayor (bentuk homozigot)
Memberikan gejala klinis yang jelas
2. Talasemia Minor biasanya tidak memberikan gejala klinis.

III. PATOFISIOLOGI
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam folat,bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif, anemia kronis serta proses hemolisis.

Hemoglobin postnatal(Hb A)

Rantai ? Rantai ?
Talasemia ? Defisiensi sintesis rantai ?
Sintesa rantai ?
Kerusakan pembentukan
Hemolisis
Anemia berat
Pembentukan eritrosit oleh
sum-sum tulang dan disuply dari transfusi
Fe meningkat
Hemosiderosis

Talasemia ?

Menstimulasi eritropoesis
Hiperplasia SS Tlg Sel darah merah rusak Hemapoesis eksra medular
Perubahan skeletal Hemolisis splenomegali/limfadenopati
Anemia Hemosiderosis Hemokromatosis
Maturasi seksual dan Kulit kecoklatan Fibrosis
Pertumbuhan terlambat
Jantung liver K.empedu Pankreas limfa
Gagal jantung sirosis kolelitiasis diabetes splenomegali

IV. ETIOLOGI
Factor genetic

V. MANIFESTASI KLINIS
? Letargi
? Pucat
? Kelemahan
? Anoreksia
? Sesak nafas
? Tebalnya tulang cranial
? Pembesaran limfe
? Menipsnya tulang kartilago
? Disritmia

VII. KOMPLIKASI
? Fraktur patologis
? Hepatosplenomegali
? Gangguan Tumbuh Kembang
? Disfungsi organ

VIII. PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 10 g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis dapat dicegah dengan pemberian Deferoxamine(desferal).
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen(transfusi).

ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengkajian Fisik
? Riwayat keperawatan
? Kaji adanya tanda-tanda anemia(pucat,lemah,sesak,nafas cepat,hipoksia kronik,nyeri tulang dan dada,menurunnya aktivitas,anoreksia),epistaksis berulang.
Pengkajian Psikososial
? Anak : Usia,tugas perkembangan psikososial,kemampuan beradaptasi dengan penyakit,mekanisme koping yang digunakan.
? Keluarga : respon emosional keluarga,koping yang digunakan keluarga,penyesuaian keluarga terhadap stress.

DIAGNOSE KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen seluler yang penting untuk menghantarkan Oksigen/zat nutrisi ke sel.
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan kebutuhan pemakaian dan suplai oksigen.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kurangnya selera makan.
4. Koping keluarga tidak efektif b.d dampak penyakit anak terhadap fungsi keluarga.

RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSE KEPERAWATAN TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL

1

2

3

4

Perubahan perfusi jaringan b.d berkurangnya komponen seluler yang penting untuk menghantarkan oksigen/zat nutrisi

Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan kebutuhan pemakaian dan suplai oksigen

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kurangnya selera makan

Koping Keluarga tidak efektif b.d dampak penyaklit anak terhadap fungsi keluarga
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x 24 jam perfusi jaringan klien adekuat dengan criteria :
- Membran mukosa merah muda
- Conjunctiva tidak anemis
- Akral hangat
- TTV dalam batas normal

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien toleran terhadap aktivitas dengan criteria :
- Kebutuhan ADL terpenuhi tanpa rasa pusing,sesak

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam nutrisi klien terpenuhi dengan criteria
- BB stabil/meningkat
- Nilai laboratorium Dbn
- Melaporkan nafsu makan meningkat
- Menghabiskan porsi makan yang disediakan.

Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam keluarga dapat mengatasi dan mengendalikan stress yang terjadi pada keluarga dengan criteria :
- Keluarga menerima kondisi anaknya
- Menunjukkan tingkah laku koping yang positip
- Monitor TTV,pengisian kapiler,warna kulit dan membaran mukosa

- Tinggikan posisi kepala tempat tidur

- Periksa adanya keluhan nyeri

- Catat keluhan rasa dingin
- Pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat
- Beri oksigen sesuai kebutuhan

- Kolaborasi dalam pemeiksaan lab : HB,HMT,SDM.

- Kaji kemampuan anak dalm melakukan aktivitas/memenuhi ADL
- Monitor TTV,respon fisiologis selama,setelah melakukan aktivitas

- Beri informasi pada anak/klg untuk berhenti melakukan aktivitas jika terjadi peningkatan TTV atau pusing
- Beri bantuan dalam beraktivitas/ambulasi ila perlu
- Perioritaskan jadwal askep untuk meningkatkan istirahat

- Kaji riwayat nutrisi dan makanan yg disukai
- Observasi dan catat masukan makanan

- Timbang Berat badan setiap hari

- Beri makanan sedikit tapi sering dan atau makan diantara waktu makan

- Konsul ahli gizi
- Beri obat/suplemen vitamin sesuai order

- Jelaskan kondisi anak sesuai realita dan beri dukungan pada keluarga
- Berikan waktu/dengarkan hal-hal yang mejadi keluhan keluarga

- Memberikan dukungan kepada keluarga untuk mengembangkan harapan realistis thd anak
- Bantu keluarga untuk memahami betapa pentingnya mempertahankan fungsi psikososial
- Perubahan tanda vital,warna kulit dan membran mukosa menunjukkan tanda perfusi jaringan
- Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigen untuk kebutuhan seluler
- Iskemia seluler mempengaruhi jar.miokardial
- Vasokontriksi ke organ vital menurunkan sirkulasi perifer

- Memaksimalkan transfer oksigen ke jaringan
- Memantau kadar oksigenasi

- Mempengaruhi pilihan intervensi

- Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jml oksigen adekuat ke jar.
- Rangsangan/stress kardiopulmonal berlebihan dpt menimbulkan dekompensasi/kegagalan
- Membantu dan memberi dukungan

- Memperthanan tingkat energi dan meningkatkan regangan pada system jantung dan pernafasan.

- Mengidentifikasi defisiensi,merencanakan intervensi
- Mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan konsumsi makanan
- mengawasi penurunan BB atau efektivitas intervensi nutrisi
- Makan dpt menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi gaster
- Membantu membuat rencana diet
- Menigkatkan masukan protein dan kalori

- Keluarga paham dengan kondisi anak dan dapat menerima sesuai keadaan
- Orang terdeklat memerlukan dukungan yg terus menerus dg berbagai masalah yg dihadapi akan meningkatkan dlm mengatasi penyakit untuk memudahkan proses adaptasi
- Dukungan keluarga thd anak dapat meningktkan harapan anak

- Tingkah laku yang terhalang,tuntutan perawatan tinggi dan seterusnya dapat menimbulkan klg menarik diri dri pergaulan social.



Baca Selengkapnya...

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN LEUKEMIA

Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang dan sistem limpatik (Wong, 1995). Sedangkan menurut Robbins & Kummar (1995), leukemia adalah neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh penggantian secara merata sumsum tulang oleh sel neoplasi.
Klasifikasi
1. Leukemia Limfosit Akut (ALL)
2. Leukemia Limfosit Kronik (CLL)
3. Leukemia Mielosit (mieloblastik) Akut (AML)
4. Leukemia Mielosit Kronik (CML)
Pada klien anak, dua bentuk yang umum ditemukan adalah ALL dan AML
Patofisiologi
Leukemia merupakan proliferasi yang tidak terbatas dari sel darah putih yang immatur pada jaringan pembentuk darah. Walaupun bukan berwujud sebagai tumor sebagaimana biasanya, sel leukemia menunjukkan property suatu neoplasma dari kanker yang solid. Manifestasi klinik yang timbul merupakan akibat dari infiltrasi atau penggantian dari jaringan-jaringan tubuh oleh sel leukemia yang non-fungsional. Organ vaskuler atas seperti limpa dan hati merupakan organ yang sering diserang oleh sel ini.
Ada dua miskonsepsi yang harus diluruskan mengenai leukemia ini yaitu 1)Walaupun leukemia merupakan overproduksi dari sel darah putih, tetapi sering ditemukan pada leukemia akut bahwa jumlah leukosit rendah. Ini diakibatkan karena produksi yang dihasilkan adalah sel yang immatur. 2)Sel immatur tersebut tidak menyerang dan menghancurkan sel darah normal atau jaringan vaskuler. Destruksi celluler diakibatkan proses infiltrasi dan sebagai bagian dari konsekwensi kompetisi untuk mendapatkan element makanan metabolik.
Masalah Keperawatan :
[1] Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, Resiko infeksi
[2] Resiko infeksi, Infeksi aktual
[3] Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Resiko gangguan perfusi jaringan
[4] Gangguan rasa nyaman : Nyeri
[5] Gangguan mobilitas fisik, Resiko Injury
[6] Gangguan rasa nyaman : Nyeri
[7] Infeksi aktual, Resiko gangguan tumbuh kembang
[8] Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, Gangguan keseimbangan cairan & elektrolit
Manajemen terapeutik :
Chemotherapi dengan tiga fase yaitu 1)Induksi, 2)CNS profilaksis terapi, 3)Konsolidasi.
Masalah Keperawatan yang timbul karena kemoterapi :
1. Kerusakan membran mukosa
2. Gangguan integritas kulit
3. Cemas




Baca Selengkapnya...

Askep pasien dengan Hemofilia

Hemofilia adalah kelainan perdarahan yang disebabkan adanya kekurangan salah satu faktor pembekuan darah. Hemofilia merupakan penyakit gangguan pembekuan darah dan diturunkan oleh melalui kromoson X. Hemofilia di bedakan menjadi dua, yaitu Hemofilia A yang ditandai karena penderita tidak memiliki zat antihemofili globulin ( faktor VIII ), Hemofilia B atau Penderita tidak memiliki komponen plasma tromboplastin ( faktor IX ).

Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter atau didapat yang sering dijumpai. Hal ini bisa terjadi karena mutasi gen faktor pembekuan darah yaitu faktor VIII atau faktor IX kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit resesif. Hemofilia lebih banyak terjadi pada laki-laki, karena mereka hanya mempunyai satu kromosom X, sedangkan wanita umumnya sebagai pembawa sifat saja (carier). Namun wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X dari ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier dan bersifat letal.

Patofisiologi

Perdarahan karena gangguan pada pembekuan biasanya terjadi pada

jaringan yang letaknya dalam seperti otot, sendi, dan lainya yang dapat terjadi kerena gangguan pada tahap pertama, kedua dan ketiga, disini hanya akan di bahas gangguan pada tahap pertama, dimana tahap pertama tersebutlah yang merupakan gangguan mekanisme pembekuan yang terdapat pada hemofili A dan B. Perdarahan mudah terjadi pada hemofilia, dikarenakan adanya gangguan pembekuan, di awali ketika seseorang berusia ± 3 bulan atau saat akan mulai merangkak maka akan terjadi perdarahan awal akibat cedera ringan, dilanjutkan dengan keluhan-keluhan berikutnya.

Hemofilia juga dapat menyebabkan perdarahan serebral, dan berakibat fatal. Rasionalnya adalah ketika mengalami perdarahan, berarti terjadi luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh tubuh). Darah keluar dari pembuluh. Pembuluh darah mengerut/ mengecil kemudian Keping darah (trombosit) akan menutup luka pada pembuluh apabila kekurangan jumlah factor pembeku darah tertentu, mengakibatkan anyaman ( Benang Fibrin) penutup luka tidak terbentuk sempurna, akibatnya darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh. Sehingga terjadilah perdarahan.

Komplikasi

a) Adanya Nyeri.

b) Bengkak pada persendian

c) Terjadi Anemia.

d) Kelainan bentuk sendi dan otot.

e) Gangguan Mobilisasi.

Manifestasi Klinis

a) Perdarahan hebat setelah suatu trauma ringan

b) Perdarahan spontan yang berulang-ulang pada sendi-sendi.

c) Perdarahan yang luar biasa setelah Ekstraksi Gigi.

d) Hematom pada jaringan lunak

e) Hemartrosis dan kontraktur sendi

f) Hematuria

g) Perdarahan serebral

Anamnesa Atau Pemeriksaan Fisik

a. Aktivitas

Tanda : Kelemahan otot

Gejala : kelelahan, malaise, ketidakmampuan melakukan aktivitas.

b. Sirkulasi

Tanda : kulit, membran mukosa pucat, defisit saraf serebral/ tanda

perdarahan serebral

Gejala : Palpitasi

c. Eliminasi

Gejala : Hematuria

d. Integritas Ego

Tanda : Depresi, menarik diri, ansietas, marah.

Gejala : Perasaan tidak ada harapan dan tidak berdaya.

e. Nutrisi

Gejal : Anoreksia, penurunan berat badan.

f. Nyeri

Tanda :.Perilaku berhati-hati, gelisah, rewel.

Gejala : Nyeri tulang, sendi, nyeri tekan sentral, kram otot

g. Keamanan

Tanda : Hematom.

Gejala : Riwayat trauma ringan.

-Terjadi perdarahan spontan pada sendi dan otot yang berulang disertai dengan rasa

nyeri dan terjadi bengkak.

-Perdarahan sendi yang berulang menyebabkan menimbulakan Atropati hemofilia

dengan menyempitnya ruang sendi, krista tulang dan gerakan sendi yang terbatas.

-Biasanya perdarahan juga dijumpai pada Gastrointestinal, hematuria yang

berlebihan, dan juga perdarahan otak.

-Terjadi Hematoma pada Extrimitas.

-Keterbatasan dan nyeri sendi yang berkelanjutan pada perdarahan.

Pemeriksaan Diagnostik

a). Hemofilia A

-Faktor pembekuan darah (VIII) dari 0 – 25% Normal

-Pemeriksaan APTT Hemofilia A panjang Normal perbaikan Total tidak ada

perbaikan

b). Hemofilia B

-Faktor pembekuan darah (IX) dari 0 – 25% Normal

-Pemeriksaan APTT Hemofilia B panjang Normal Tidak perbaikan Total.

c). Hemofili A atau B

Hemofilia Ringan - Dari 5% - 25%

Hemofilia Sedang - Dari 1% - 5%

Hemofilia Berat - Kurang dari 1%

Penata Laksanaan ( Medikal Atau Bedah )

a.Umum

Perawatan yang efektif yaitu untuk menghentikan perdarahan dengan cepat,

dengan meningkatan jumlah plasma pembekuan darah.

b.Diet

Tidak ada pembatasan diet pada penderita Hemofilia.

c.Aktifitas

Untuk pergerakan diharapkan tidak terlalu banyak bergerak.

d.Pengobatan

Asam Amino Chaproid.

Hemofili A

Cryoprecipitated antihemophilic factor (AHF)

Lyophilized AHF

Desmopressin

Hemofili B

Faktor IX concentrate

Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan perdarahan aktif.

2. Kekurangan volume cairan sehubungan dengan kehilangan akibat perdarahan.

3. Resiko tinggi injuri sehubungan dengan kelemahan pertahanan akibat hemofilia.

Intervensi Keperawatan

Dx 1 Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan perdarahan aktif

1. Kaji penyebab perdarahan

2. Awasi tanda vital, kaiji pengisian kapiler, warna kulit atau membran mukosa, warna kuku.

3. Perhatikan upaya pernafasan : Auskultasi bunyi nafas, selidiki keluhan nyeri dada

Kolaborasi

- Berikan transfusi darah sesuai dengan indikasi.

Dx 2 Kekurangan volume cairan sehubungan dengan kehilangan akibat perdarahan.

1. Pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat

2. Perhatikan karakteristik urin dan berat jenisnya.

3. Awasi tanda vital, ukur tekanan darah pada posisi berbaring, duduk dan berdiri bila mungkin.

4. Perkirakan drainase luka dan kehilangan yang tampak.

5. Observasi demam, perubahan tingkat kesadaran, turgor kulit buruk, kulit dan membran mukosa kering, nyeri.

Kolaborasi

- Berikan input cairan sesuai indikasi.

Dx 3 Resiko tinggi injuri sehubungan dengan kelemahan pertahanan akibat hemofilia.

1. Pertahankan keamanan tempat tidur klien, pasang pengaman pada tempat tidur.

2. Hindarkan pasien dari cidera, ringan-berat

3. Awasi setiap gerakan yang memungkinkan terjadinya cidera.

4. Anjurkan pada keluarga untuk segera membawa klien ke RS jika terjadi injuri

5. jelaskan pada keluarga klien pentingnya menghindari cidera.

Evaluasi

1. Tidak terjadi penurunan tingkat kesadaran, pengisian kapiler berjalan normal, perdarahan dapat teratasi

2. Menunjukkan perfusi yang adekuat misalnya:

- Membran mukosa berwarna merah muda.

- Mental kembali seperti biasa.

3. Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat dibuktikan oleh haluaran urine individu tepat dengan berat jenis mendekati normal, tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik dan pengisian kapiler normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baradero, Mary, dkk. Teori Askep Gangguan Kardiovaskuler. 2008. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

2. M. Lawrence Tierney, dkk. Diagnosis dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam Buku 2. 2003. Penerbit Salemba Medika: Jakarta.

3. Wiliams Lippincott. Clinical Nurse 3 Minute. 2003. Wolters Kluwer Company: USA.

4. Joyce M. Black & Hawks. Medical Surgical Nursing . 2005. Missouri Elsevier inc.

5. Price & Wilson. Patofisiologi Anatomi Buku (1). 2005. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

6. www. Purnama 87.blogspot.com/ 2008_0501_archive.hml, diakses tgl 10 Oktober.




Baca Selengkapnya...

ASKEP HALUSINASI

A. Pengertian
Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan ( Sheila L Vidheak, 2001 : 298 ).
Halisinasi adalah sensori yang timbul berdasarkan pada stimulus internal yang tidak sesuai kenyataan ( Ruth F. Cvaven, 2002 ; 1179 ).
Halusinasi adalah penginderaan tanpa sumber rangsangan eksternal ( Vavold I. Koplen, 1998 : 267 ).

Jenis – jenis Halusinasi.
1. Halusinasi pendengaran.
Klien mendengar suara dan bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata dan orang lain tidak mendengarnya.
2. Halusinasi Penglihatan.
Klien melihat gambaran yang jelas atau samar – samar tanpa stimulus nyata dan orang lain tidak melihatnya.
3. Halusinasi Penciuman.
Klien mencium bau – bau yang muncul dari sumber – sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak menciumnya.
4. Halusinasi Pengecapan.
Klien merasa makan sesuatu yang tidak nyata, biasnya merasakan rasa nyaman atau tidak enak.
5. Halusinasi Perasaan.
Klien merasa sesuatu pada kulit tanpa stimulus yang nyata dan orang lain tidak merasakannya.
( Rasmun, 2001 : 23 ).


B. Etiologi
1. Faktor Pendukung.
a. Faktor Biologis.
Abnormalitas otak yang menyebabkan respon neurologist yang maladaptive.
b. Faktor Psikologis.
Orang tua yang salah mendidik anak, konflik perkawinan, koping menghadapi stress tidak konstruktif.
c. Faktor Sosial Budaya.
Ketidak harmonisan social budaya, hidup terisolasi, stress yang menumpuk.
2. Faktor Pencetus.
a. Biologis.
Stresor biologis yang berhubungan dengan respon neurologist yang mal adaptif termasuk ganguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidak mampuan.
b. Stres Lingkungan.
Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi dengan stressor lingkungan, untuk menentukan terjadinya ganguan perilaku.
c. Pemicu Gejala.
Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurologi yang mal adaptif berhubungan dengan kesehatan lingkungan dan sikap individu.
( Stuart dan Sundeen, 1998 : 305 – 310 ).

C. Patofisiologi
1. Tahap I.
Memberi rasa nyaman, tingkat ansietas sedang, secara murni Halusinasi merupakan suatu kesenangan.
a. Karakteristik.
Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah, ketakutan, mencoba berfokos pada fikiran yang dapat menghilangkan ansietas, dan pikiran pengalaman sensori masih ada dalam control kesadaran (non psikotik).
b. Perilaku Klien.
Tersenyum, tertawa sendiri, mengerakkan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal yang lambat, diam dan berkonsentrasi.
2. Taha II.
Menyalahkan, tingkat kecemasan berat, secara umum halusinasi.
a. Karakteristik.
Pengalaman sensori menakutkan, merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut, mulai merasa kehilangan control dan menarik diri dari orang lain ( non psikotik ).
b. Prilaku Klien.
Terjadi denyut jantung, pernafasan dan tekana darah, perhatian pada lingkungan berkurang, konsentrasi terhadap pengalaman sensorinya kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.
3. Tahap III.
Mengontrol tingkat kecemasan berat dan pengalaman tidak dapat ditolak.
a. Karakteristik.
Klien menyerah dan menerima pengalama sensorinya ( halusinasi ), isi halusinasinya menjadi aktaktif dan kesepian bila pengalaman sensori berakhir ( psikotik ).
b. Perilaku Klien.
Perintah halusinasi ditaati, sulit berhubungan dengan orang lain. Perharian terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik dan tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tampak tremor dan berkeringat.
4. Tahap IV.
Klien sudah dikuasai oleh halusinasi, klien panik.
a. Karakteriastik.
Pengalaman sensori menjadi pengancam dan halusinasi dapat berlangsung selama beberapa jam / hari.
b. Perilaku Klien.
Perilaku panic, resiko tinggi mencederai, agitasi atau katatonik, tidak mampu berespon terhadap lingkungan
( Tim Keperawatan Jiwa FIK – UI ; dikutip oleh Rasmun ; 2001 ; 24 ).


D. Tanda dan Gejala
1. Bicara, senyum dan tertawa sendiri.
2. Mengatakan mendengar suara, melihat, mengecap, mencium dan merasa sesuatu tidak nyata.
3. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
4. Tidak dapat membedaka hal nyata dan tidak nyata.
5. Tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi.
6. Pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal.
7. Sikap curiga.
8. Menarik diri, menghindar dari orang lain.
9. Sulit membuat keputusan, ketakutan.
10. Tidak mampu melakukan asuhan mandiri.
11. Mudah tersinggung dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain.
12. Muka merah dan kadang pucat.
13. Ekspresi wajah tenang.
14. Tekanan Darah meningkat, Nadi cepat dan banyak keringat.
( Mary C. Townsend, 1998 : 98 – 103 ).


E. Penatalaksanaan Medis
1. Penderita per Individu
2. Farmakotherapi ( anti psikotik ) harus ditinjang oleh psikoterapi seperti Klorpromazin 150 – 600 mg / hari, Haloperidol 5 – 15 mg / hari, Porpenozin 12 – 24 mg / hari dan Triflufirazin 10 – 15 mg / hari. Obat dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran, dinaikkan dosis tiap 2 minggu dan bisa pula dinaikkan sampai mencapai dosis ( stabilisasi ) , kemudian diturunkan setiap 2 minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan. Dipertahankan 6 bulan – 2 tahun ( diselingi masa bebas obat 1 – 2 hari / minggu ). Kemudian tapering off, dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu dan dihentikan.
3. Satu macam pendekatan terapi tidak cukup, tujuan utama perawatan dirumah sakit adalah ikatan efektif antara pasien dan system pendukung masyarakat.
( Arif Mansjoer, 1999 : 2000 ).

F. Diagnosa Keperawatan
Sebelum menetapkan diagnosis keperawatan terlebih dahulu dibuat daftar masalah dan pohon masalah. Daftar masalah dan pohon masalah, gangguan kemungkinan muncul pada klien halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Daftar Masalah.
a. Perubahan persepsi sensori ; Halusinasi Dengar.
b. Resti mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
c. Isolasi social ; Menarik Diri.
d. Ganguan konsep diri ; HDR.
e. Tidak efektifnya koping individu.
f. Menurunya motifasi perawatan diri.
g. Defisit perawatan diri.
h. Perilaku kekerasan.
i. Tidak efektifnya penatalaksanaan regimen terapeutik.
j. Tidak efektifnya koping keluarga ; ketidak mampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit.

2. Pohon Masalah




3. Diagnosa Keperawatan
a. Resti melakukan kekerasa b.d Halusinasi.
b. Perubahan sensori persepsi ; Halosinasi b.d menarik diri.
c. Kerusakan interaksi social ; menarik diri b.d HDR.
d. Sindrum defisit perawatan diri ; mandi atau berpakaian b.d intoleransi aktivitas.
( Budi Anna Keliat ; 1998 : 27 ).

4. Perencanaan Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya, hubungan interpersonal.
b. Tetapkan gejala dari halusinasi termasuh durasi, intensitas dan frekuensi.
c. Fokuskan pada gejala dan tanyakan kepada klien untuk mendapatkan gambaran apa yang terjadi.
d. Identifikasi apakah klien sedang mengunakan obat – obatan atau alcohol.
e. Jika ditanya tegaskan dengan sederhana bahwa anda tidak mengalami rangsangan yang sama.
f. Beri dorongan dan pujian dalam hubungan interpersonal.
g. Bantu klien mengidentifikasi keperluan, mungkin info menggambarkan isi dari halusinasi.
h. Tanyakan pengaruh dari gejala halusinasi pada aktivitas dan kehidupan sehari – hari.
( Stuart dan Sunden, 1998 : 428 ).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek daritindakan keperawatan pada klien, evaluasi dilaksanakan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah direncanakan pada evaluasi klien diharapkan mampu :
a. Menjelaskan waktu dan tempat terjadinya halusinasi.
b. Menyebutkan saat terjadinya halusinasi.
c. Membedakan hal yang nyata dan tidak nyata.
d. Memilih cara untuk mengatasi halusinasi.
e. Berinteraksi dengan orang lain tanpa rasa curiga.
f. Berespon sesuai dengan stimulasi dari luar dirinya.

g. Tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.
h. Mengontrol halusinasi.
( Budi Anna Keliat, 1998 : 15 ).





Baca Selengkapnya...
KTI-SKRIPSI KEPERAWATAN
lebih dari 100 contoh kti-skripsi keperawatan ada disini, klik here
 

DOWNLOAD AREA

Download Macam-Macam Askep, disini
Download Artikel Kedokteran, disini
Download Artikel Seputar Kebidanan, disini

Followers

Blog Archive