PROLONGED arm, "Extended role" doctrine. Istilah-istilah ini begitu dikenal selama beberapa dekade lalu di negara-negara Anglo Saxon. Sementara itu, di Benua Eropa muncul pula Verlengde arm theorie. Apakah maksudnya? Tak lain dari julukan bagi seorang perawat yang diterjemahkan menjadi "perpanjangan tangan dokter".Perawat yang berada di rumah sakit selama 24 jam diharuskan menggantikan dokter dalam merawat pasiennya, selama dokter itu tidak bertugas. Meski begitu, perawat hanya diberi wewenang yang sangat kecil untuk itu. Sebagai perawat, ia tidak boleh secara langsung memberikan pengobatan, kecuali sebelumnya sudah mendapat instruksi tertulis pada rekam medik.
Sebagai contoh, dalam ketentuan yang dikeluarkan Kansas Supreme Court Amerika Serikat pada tahun 1964 disebutkan, fungsi utama seorang perawat adalah mengobservasi dan mencatat gejala dan reaksi pasien. Perawat tidak diperkenankan memberikan kesimpulan hasil diagnosa atau perawatan penyakit pada pasien.
Pandangan tersebut kemudian mengalami perubahan dua dekade kemudian, yaitu ketika pengadilan banding di New York pada tahun 1985 mengakui pandangan modern bahwa perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif, tetapi penyedia jasa perawatan kesehatan yang desisif dan asertif.
Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis dari "perpanjangan tangan" menjadi "kemitraan" atau "kemandirian", seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yaitu malpraktik medik atau keperawatan.
Sebelumnya, ada perbedaan yang jelas antara peran kedua tenaga medis itu. Dokter menangani pengobatan, sedangkan perawat mengurus perawatannya. Dengan wewenang lebih banyak dipegang dokter maka tanggung jawab selama ini juga diemban oleh dokter.
Kini para perawat diperkenankan melakukan tugas-tugas dokter. Karena itu, mereka pun dapat terkena gugatan hukum bila terjadi akibat negatif dari pelayanannya kepada pasien. Selama ini dalam tindakan sehari-hari di rumah sakit, seorang perawat bisa saja melakukan berbagai kesalahan, misalnya keliru memberikan obat atau salah dosis, salah membaca label, salah menangani pasien, dan yang lebih berat lagi adalah salah memberikan tranfusi darah sehingga mengakibatkan hal yang fatal.
Sejalan dengan adanya perubahan tanggung jawab, kesalahan itu harus ditanggung oleh perawat. Hal ini telah dijalani perawat di beberapa negara. Sebagai contoh, di Memphis County Hospital pada tahun 1986 seorang perawat digugat karena memberikan suntikan Lidocaine over dosis kepada pasiennya sehingga mengakibatkan pasien bersangkutan meninggal. Sementara itu, perawat di Ohashi Hospital pada Agustus tahun 2000 lalu menemui nasib yang sama. Ia disalahkan karena menyebabkan kematian bayi baru lahir karena kesalahan melakukan tindakan medis.
Dengan berlakunya ketentuan baru, kesalahan dalam operasi atau pembedahan juga menjadi tanggung jawab perawat yang mendampingi dokter di kamar operasi. Teori bahwa dokter bedah harus mengontrol semua aktivitas yang dilakukan di kamar bedah sudah tidak realistis lagi pada waktu sekarang.
Sebelumnya memang dianut doktrin "captain of the ship", yaitu dokter bedah harus bertanggung jawab bila selama operasi terjadi sesuatu hal di kamar bedah, termasuk terhadap kelalaian atau kesalahan perawat bedah. Pada ketentuan lama, perawat memang dianggap sebagai tenaga yang dipinjamkan (borrowed servant) oleh rumah sakit kepada dokter bedah.
Kasus-kasus yang terjadi berkaitan dengan malpraktik memang bisa menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang harus ditanggung perawat dengan adanya perubahan status mereka. Dari aspek pidana ini bisa-bisa mereka terkena hukuman badan atau kurungan. Dan, dari sisi perdata, pasien bisa menuntut ganti rugi; dari segi profesi, mungkin terkena sanksi dari Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau Keperawatan menyangkut etik dan disiplin. Dan, dari rumah sakit, perawat bisa di-PHK-kan kalau sampai terjadi sesuatu yang merugikan majikannya.
BAGAIMANA peran perawat di Indonesia? Menurut salah seorang panelis, secara nyata belum tampak adanya perubahan yang jelas. Di banyak rumah sakit, perawat tampaknya masih diperlakukan dan mendapat tugas dan wewenang seperti sebelumnya.
Padahal, ketentuan tentang perubahan dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan kemampuan perawat telah terbentuk. Dalam hal ini telah diselenggarakan jenjang pendidikan keperawatan yang lebih tinggi, mulai dari akademi perawat, fakultas untuk program S1, bahkan sampai program pascasarjana.
Selain itu, juga telah dikeluarkan Kepmenkes Nomor 647 Tahun 2000 tentang registrasi dan praktik perawat. Menurut peraturan tersebut, perawat dapat melaksanakan praktik tidak saja pada sarana pelayanan kesehatan, tetapi dapat pula melakukan praktik perseorangan atau berkelompok. Meski begitu, dalam praktik memang belum ada perubahan peran atau tugas perawat di Indonesia.
Dalam diskusi, beberapa peserta berpendapat, perubahan status perawat memang sudah waktunya diberlakukan. Namun, baik panelis maupun peserta masih melihat beberapa ketentuan belum mendukung ke arah itu.
Dari sisi profesi harus ditetapkan dulu tingkatan tanggung jawab untuk tiap jenjang keperawatan. Organisasi keperawatan atau Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) harus menjelaskan perbedaan antara tugas dan tanggung jawab perawat profesional yang berpendidikan sarjana dan diploma.
Berkaitan dengan perannya yang semakin besar, semestinya profesi perawat juga harus mengetahui tanggung jawabnya dilihat dari aspek hukum. Namun, hal ini ternyata belum diajarkan kepada mereka, seperti diungkapkan seorang panelis. "Di program D3 perawat belum ada kurikulum atau pelajaran tentang hukum. Yang diberikan hanya soal etika. Pelajaran hukum baru diberikan pada program S1," ujarnya.
Para perawat hendaknya perlu tahu sedikit banyak tentang hukum kedokteran atau hukum kesehatan, misalkan tentang bioetik standar profesi kedokteran, rekam medik, dan etika kedokteran.
Hal itu antara lain karena belum adanya asuransi untuk malpraktik keperawatan, dan belum ada hal yang mengatur tentang solusi bila terjadi perselisihan dengan profesi dokter atau masalah malpraktik, dan kesalahan dalam pemberian advokasi atau konsultasi oleh seorang perawat kepada pasiennya.
Dari sisi peraturan, panelis juga mengungkapkan ada satu celah yang belum terisi yang menyangkut perlindungan konsumen kesehatan. Saat ini memang ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Dari undang-undang itu kemudian keluar peraturan pemerintah. Namun, belum ada peraturan pelaksanaan (PP) tentang standar profesi keperawatan, hak pasien, dan ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan, termasuk perawat.
Sementara itu, pihak perawat, seperti yang terungkap dalam diskusi, belum melihat adanya pengaturan atau konsep tentang cara dan pemberian imbalan yang seimbang dengan penambahan tanggung jawab hukum yang diembannya. "Dengan imbalan yang kecil, kami tentu keberatan bila harus menanggung risiko dan tanggung jawab yang besar," ungkap salah seorang perawat dari sebuah rumah sakit umum di Jakarta.
Menurut panelis, dalam hal ini harus ada upaya untuk menetapkan imbalan untuk setiap pelayanan yang diberikan oleh perawat. Perawat hendaknya tidak hanya mendapat gaji, tetapi juga imbalan lain sesuai dengan jasa yang diberikan.
Sementara itu, panelis lain berpendapat, dengan adanya ketentuan baru maka hal lain yang mendesak dilakukan adalah penyiapan rekomendasi dari organisasi keperawatan, dalam hal ini PPNI. Karena menurut Kepmenkes tersebut, Surat Izin Kerja Perawat (SIKP)-Pasal 9-dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP)-Pasal 12-mensyaratkan adanya rekomendasi dari organisasi profesi perawatan untuk pengeluaran izin tersebut.
Registrasi pada Konsil Keperawatan diperlukan sebagai tindakan untuk memperoleh kewenangan formal melakukan pekerjaan keperawatan yang dapat membahayakan pasien atau klien. Dalam hal ini, harus ditetapkan persyaratan apa saja yang diperlukan bagi anggota PPNI untuk dapat diregistrasi pada konsil tersebut. Konsil Keperawatan tersebut sudah ada naskah akademik dan rancangan UU-nya, namun belum sampai masuk ke DPR.
Registrasi keperawatan ini harus diatur dalam UU karena praktik keperawatan menyangkut masalah hak asasi manusia, atau dapat mengakibatkan konsekuensi hilangnya nyawa pasien. Registrasi yang dilakukan di konsil (council) itu juga merupakan satu usaha atau proses yang diperlukan untuk membantu perawat memperoleh kewenangan formalnya, yang dengan itu ia juga dapat meningkatkan kemampuan dan kesejahteraannya. Sebagai seorang karyawan yang mendapat kewenangan, ia juga mendapatkan hak pendapatan yang dijamin oleh UU itu.
Dengan meningkatkan perubahan status, tanggung jawab, dan wewenang, seorang perawat memang harus menghadapi peluang dan tantangan. Selain dapat meningkatkan kemampuan profesi dan kesejahteraannya, di balik itu ia juga harus berani menanggung risiko bila terjadi hal-hal negatif dalam menjalankan tugasnya
sumber.http://www.kompas.com
Browse » Home »
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN ,
Tahukah anda??
» Kasus Malpraktik Bisa Dikenakan pada Perawat
Jumat, 12 Juni 2009
Kasus Malpraktik Bisa Dikenakan pada Perawat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Kasus Malpraktik Bisa Dikenakan pada Perawat”
Posting Komentar